Minggu, 30 Desember 2018

Review 2018


Rasanya baru kemarin ku habiskan penghujung akhir tahun 2017 sambil inventory di carrefour ambarukmo plaza, dan tiba-tiba sekarang sudah ada lagi di penghujung akhir tahun 2018. Namun sayangnya kini aku sudah berada di perusahaan yang berbeda, ya—akhir maret aku resign dari carrefour—atau lebih tepatnya jadi Gagal TRDP—dan akhir november aku kembali tanda tangan kontrak dengan salah satu perusahaan yang cukup besar di kalimantan selatan. Dan seperti awal dulu, aku selalu merahasiakan dimana aku bekerja—dan kali ini pun demikian, aku merahasiakan tempat ku bekerja disini—hanya beberapa orang yang tau, sisanya ku bohongi.

2018—apa ya? Banyak yang terjadi. Jelas. Mari kita flash back sebentar, apa sih yang terjadi di tahun ini, sebelum tahun 2018 ini berakhir—btw hari ini aku akan menulis banyak hal di blog, karena sudah hampir 2 bulan tidak menulis apapun di blog, tulisan ini akan jadi tulisan terakhir yang aku post di tahun 2018 karena besok aku akan lembur di tempat kerja yang baru.

·         Januari, ulang tahun ku dirayakan sama teman-teman TRDP Carrefour Amplas, Rian, Gilang, Dian, Mba Bintang, Mba Yas, Widya, Mas Ozy, dkk. Dekat sama cowok tapi endingnya aing menyakiti hatinya.
·         Februari, panel TRDP dan dengan lantang minta nggak di luluskan—dengan banyak pertimbangan walaupun sebenarnya aku cukup bagus untuk lanjut, mengingat panel project ku di angka 53juta pertiga bulan terakhir. Habis panel kita ke punthuk setumbu, padahal seharusnya hari itu aku dapet shift siang buakakakaka!
·         Maret, be a gagal TRDP—tanggal 6 maret 2018, bahagia sekali rasanya. Dengan bahagia menatap pak Anto dengan mata berapi-api ‘saya memang minta untuk tidak lulus’. Namun pisah dari Mba Bintang, Mba Yas, Widya dan terlebih lagi Mas Ozy itu tidak semenyenangkan yang dipikirkan, terlebih aku nggak punya banyak teman di Jogya selain mereka di tambah Mba Dian—posisinya disini mas Gilang dan Rian sudah pindah. Walaupun kami tetap main bersama. Oh ya! Satu lagi—aku untuk pertama kalinya nge-gym! Wkwkwk norak, sampai setiap hari nge-gym. Huehehehe.
·         April, kerjaan bulan april hanya jalan-jalan, nongkrong ngalur ngidul, nonton drama korea, nonton film dan kebanyakan sama si Mba Dian. Hahaha! Nge-gym, ikut beberapa seminar yang diadain UGM. Belum terpikir untuk kembali bekerja, terlebih lagi baru melewati bulan-bulan yang berat karena berada dibawah tekanan pak Anto. Hmmmmm~ aku mau happy dulu walaupun teteup cari kerja dan jualan Dsae plus polaroid.
·         Mei, ibu dan langit datang ke Yogya, kita jalan-jalan keliling yogya dan ngajak Gilang—adik kelas waktu kuliah. Kita jalan-jalan ke prambanan, hutan pinus, pantai parang tritis. Langit pulang ke kalimantan lebih dulu, setelahnya aku lanjut jalan-jalan lagi sama ibu ke pekalongan plus batang.
·         Juni, bulan puasa—awalnya mau pulang libur lebaran aja, nantinya balik lagi ke jawa. Tapi ternyata(?) gara-gara diri sendiri sih sebenarnya, gara-gara nggak mau bayar kos, jadi mikir ya udah nggak usah ngekos dulu aja, eh tapi orang rumah malah ngira mau pindah kalimantan selatan aja.
·         Juli, kembali ke jawa karena nikahan mas Musa. Ada niat untuk jalan-jalan keliling jawa karena mumpung di Jawa, tapi—ada adegan jatuh dari kamar mandi jadinya nggak jadi deh. Syedih. Ketemu Uyo, Muti dan Khusnul—teman semasa kuliah di salah satu mall di jakarta
·         Agustus, Fella—sahabat dari SMP lamaran, sedih bet! Apalagi nggak bisa nemenin disana. Ikut Jobfair di Banjarmasin dan semua lamaran yang aku masukin di terima semua—sayangnya aku semuanya juga nggak aku datangin wkwkwkwk.
·         September, ikut adarospectrapreneur—disini mulai dapet temen ya walaupun emang nggak banyak. Tapi setidaknya aku punya temen—disini aku nggak punya temen selain ngerampok temennya langit untuk aku jadiin temen ku. Interview awal perusahaan ku yang baru, ke Banjarmasin sendirian—nggak tau apa-apa, cuma berpanduan sama Gojek dan juga google maps, hotel pun via airy room.
·         Oktober, aku bikin usaha snack.tanjung sama preloved.tanjung. COD-annya di tanjung wkwkwkwk, padahal rumahnya di Jaro. Motor yang di Jogja dikirim ke kalimantan—makin sedih karena bau-baunya bakal susah ke Jawa lagi L dan juga tanda tangan kontrak selama lima tahun, sempet galau sebenarnya huehehehe. Lima tahun lagi, usia ku sudah tidak muda lagi.
·         November, ke Rindaaaaaam! Wagelaaaaseeeeh(ini juga bakal aku ceritaain)~ in class, general class, functional class dan juga OJT di banjarmasin. Bulan penuh drama juga ini—dramanya bukan karena masalah kerjaan, tapi karena satu kos berdua -.- (next aku bakal ceritain)
·         Desember, dapat penempatannya di kelua. Dekat dengan ayah dan ibu, walaupun memang jarak tempuhnya satu setengah jam. Huehhehehe

Ya—sekian ceritanya, kali ini cukup membosankan kan? Ya! Aku tau kok, aku juga merasa sedikit bosan, bukan aku banget yang bisa cerita tentang diri ku sendiri di blog pribadi diri sendiri wkwkwkwkw! Tapi nggak apa apa, buat reminder diri sendiri. J

Tahun depan, ayo kita buat cerita menarik sebanyak-banyaknya. Semoga segera didekatkan jodohnya biar akhir tahun 2019 atau awal tahun 2019 bisa nikaaaaah! Yeaaaaaay! Aaaamiiiin



Share:

Antara Jawa dan Kalimantan


Sudah jalan tujuh bulan atau lebih tepatnya 206 hari aku sudah di pulau kalimantan, tepatnya kalimantan selatan. Tidak mudah—benar-benar sangat tidak mudah, terlebih lagi sudah dua belas tahun lamanya aku di Jawa—bahkan baru saat kuliah aku kembali ke kalimantan untuk sekedar liburan akhir semester. Bisa dibayangkan bukan? Aku yang selama dua belas tahun merasakan hirup pikuk kehidupan yang ramai, kini harus kembali ketempat ayah ibu ku yang harus ku tempuh 6 jam dari bandara.

Mungkin aku terlihat begitu dekat dengan ayah ibu dan adik ku, tapi sebenarnya? Aku merasa seperti orang lain di sekitar mereka. Aku mungkin tau tanggal lahir ayah ibu, tapi aku tidak tau apa makanan favorit mereka—menyesakan bukan. Aku adalah orang yang terakhir tau masalah keluarga yang ada di dalam keluarga ku. Aku—adalah orang yang tidak pernah didengar, karena memang aku benar-benar tidak tau apa-apa. Aku sayang mereka, tapi aku—tidak mengenal kedua orang tua ku sebaik adik ku mengenal mereka.

Kalau orang lain merasa senang jika bersama dengan orang tua mereka, tidak dengan ku. Mungkin karena aku belum menyesuaikan diri, aku terlalu bebas hingga rasanya disini sayap ku di potong.

Aku pun tidak banyak punya teman disini, teman-teman ku bisa di hitung dengan jemari tangan yang ku miliki. Terkendala bahasa adalah faktor utama, aku tidak enak kalau harus bicara bahasa indonesia terus menerus—takut dikira sok dan songong.

Tidak ada bedanya dengan di Jawa, disini tidak ada yang bisa ku panggil rumah. Aku tetap ngekos, tetap jauh dari orang tua. Lalu apa bedanya?

Tapi aku tetap melaluinya, terlebih sekarang aku punya pekerjaan disini. Aku mencoba menyesuaikan diri. Entah kelak aku bisa kembali ke Jawa atau tidak, ku pasrah saja pada yang kuasa. Dia paling tau yang terbaik.

Kalau ditanya “apakah kamu mau kembali kesana?” jawabannya “ya”, entah itu untuk sekedar liburan atau—untuk menetap.

Share:

Dilarang baper


Tribute to : salah satu teman yang jatuh cinta dengan teman sekantornya sendiri

Sadar atau tidak, kita tak pernah akrab sebelumnya, hanya tau sama tau—ngobrol pun rasanya tidak pernah walaupun kita berada ditempat yang sama. Kamu lebih memilih diam, begitupun dengan ku—sekarang aku bukan orang yang mudah untuk bicara terlebih dengan laki-laki.

Hingga suatu ketika ku beranikan untuk menggoda mu, memberikan gombalan ringan yang mengembangkan senyuman mu, ku lihat kaupun salah tingkah—membuat ku semakin semangat untuk menggoda mu. Kita pun mulai saling menyapa, kamu pun mulai berani untuk bercanda dengan ku, membalas gombalan ku. Walaupun ku sadari masih saja ada sekat di antara kita yang tidak bisa ditembus saat kita hanya berdua, aku masih saja tidak bisa jadi diri sendiri jika hanya berdua dengan mu. Ditambah lagi dengan sikap mu yang cool, cuek dan agak pendiam.

Sampai pada akhirnya aku menyadari kalau aku mulai tertarik dengan mu. Terlebih setelah menyadari dibalik sikap mu—kamu perduli pada ku. Dan lambat laun pun aku menyadari kalau kamu menarik dan aku tertarik.

Dan sayangnya rasa itu sepertinya harus terhenti, setelah aku pikir dan telaah—mana mungkin(?) mana bisa(?) Mungkin saja bukan kalau sikap baik mu hanya kedok, mungkin saja hanya karena aku teman kerja mu—atau mungkin saja kamu segaja(?) karena kalau sampai ketahuan, ada cinta di kantor—bukankah yang paling mungkin pindah adalah kamu(?). Tidak boleh ada cinta di kantor, bukan(?)

Share:

Someone like you



Aku bertemu seseorang seperti kamu disini, dia sangat mirip dengan mu sampai membuat ku mengingat mu. Begitu mirip hingga mampu membuat aku mengenang kisah masa lalu dengan mu—tentunya. Perbedaan padanya membuatnya membandingkannya dengan mu, lagi-lagi semua tentangnya membuat ku mampu menggambarkan dirimu pada dirinya.

Dia lebih tinggi dari mu, kulitnya lebih putih dan juga lebih bersih—tidak ada bekas luka ataupun bintik-bintik coklat di pipi— bibirnya tipis—matanya sayu sama seperti mu, hidungnya tidak terlalu mancung tapi tidak bisa juga ku sebut pesek, alisnya tebal,  rambutnya tertata rapi tidak seperti mu yang memanjangkan poni—walaupun itu dulu—. Suaranya hampir sama dengan mu, hanya tonenya sedikit berbeda. Dia lucu, beberapa kali ku temukan dia bercanda dengan teman-temannya. Ah! Satu lagi yang sama dengan mu, matanya tidak pernah beranjak pergi dari layar handphone. Entah itu untuk main game atau seperti mu saat sedang chat dengan perempuan lain saat bersama ku dulu.

Kami belum pernah berbincang, aku bukan gadis yang sama seperti dulu—yang bisa membuka pembicaraan. Kami hanya pernah berpapasan, saling menatap dan saling membalas senyuman. Hanya itu.

Melihatnya membuat ku mengingat mu. Membuat ku kembali mengenang masa lalu yang pernah ‘kita’ lalui bersama. Dan ketika aku mengenang masa lalu, aku membuka luka lama yang sudah ku kubur dan kulupakan.

Share:

Rabu, 17 Oktober 2018

Long Time No See


Sudah lama tidak menulis, aku tidak tau lagi apa yang harus ku tulis. Aku ingin menulis tentang mu—tapi aku tidak punya seseorang yang bisa aku panggil ‘kamu’. Memang ada yang ku harapkan, tapi pengalaman masa lalu membuat ku tidak ingin terlalu banyak bercerita tentangnya, aku tidak ingin membebaninya—dan aku lebih ingin Tuhan lebih banyak tau tentangnya ketimbang orang lain.

Dan dia terlalu indah untuk diceritakan dalam kata di sebuah tulisan, dia lebih indah untuk diceritakan dalam kata di antara doa-doa yang aku panjatkan di sela sujud ataupun saat tangan ku mengadah kelangit.

Dulu awalnya—aku berdoa agar dia menjadi jodoh dan masa depan ku, tapi setelah semakin mengenal Tuhan, aku pikir aku tidak boleh memaksanya. Ia-lah yang paling tau yang terbaik untuk ku, bukan aku ataupun siapapun di dunia ini.

Oleh karena itu, jika dia terbaik untuk ku—kemanapun kami berada, dimanapun, kapapun. Tuhan akan selalu mempertemukan kita, dengan bersama siapapun kita sekarang—Tuhan pasti punya jalan untuk membuat kita bersama.

Share:

Selasa, 26 Juni 2018

Kepada Hati Yang Ku Patahkan


Aku hanya bisa mengatakan maaf. Tak perlu mempertanyakan apapun, akulah yang salah. Aku terlalu terburu-buru hingga tak tau resiko yang ku timbulkan setelahnya. Tak seharusnya aku menerima hati yang belum benar-benar ku terima sebelumnya.

Terlalu banyak perbedaan, ditambah lagi aku bukan orang yang mau menerima seseorang dengan baik. Walaupun tidak bohong, aku ingin di terima dengan baik tanpa di cela sedikitpun. Egoisnya aku—aku merasa aku terlalu baik untuk dimiliki orang seperti mu, ya—begitu jahatnya diri ku. Bukan kamu yang harusnya minta maaf, akulah yang harusnya minta maaf. Aku menyakiti mu seolah kamu tak punya hati, seolah kelakuan ku tak akan menyakiti.

Jujur sekarang aku merasa begitu jijik, aku pikir jijik terhadap mu, tapi aku merasa jijik terhadap diri ku sendiri. Aku merasa begitu bodoh karena menerima pernyataan cinta mu, bukan karena perasaan mu itu omong kosong, bukan! Tapi—kenapa aku membiarkan seseorang masuk kedalam hidup ku padahal aku tidak pernah membayangkan dia menjadi bagian dari hidup ku? Membiarkan seseorang masuk dalam hidup ku padahal aku tidak benar-benar menginginkannya, menyukainya, menyayanginya dan mencintainya. Padahal itu semua hanya akan membuang-buang waktu ku—membuang waktu ku untuk menemukan apa yang ingin ku temukan.

Bukan hanya kamu hati yang ku patahkan karena keegoisan ku, ada beberapa orang lagi yang ku patahkan hatinya hanya karena keegoisan ku. Aku tau aku salah, aku pikir aku bisa berubah tapi ternyata tidak—belum. Aku belum bisa melakukannya. Aku pikir aku harus bertemu dengan orang yang ku cintai, aku harus mencintainya dulu dengan sangat, baru bisa menerima cintanya—sayangnya aku belum menemukannya.

Jadi jika kelak kamu menemukan seseorang seperti ku, pastikan membuatnya mencintai mu dengan sangat terlebih dahulu. Jangan terburu-buru menyatakan cinta dan memintanya menjadi kekasih mu. Karena aku yakin itu tidak berlangsung lama, kamu hanya menjadi kesenangan sesaat yang akan dibuang ketika ia bosan atau mungkin hanya menjadi penyesalan semata.

Sekali lagi, aku minta maaf. Semoga kelak kamu menemukan apa yang ingin kamu temukan. Jangan temukan gadis seperti ku lagi di hidup mu, kamu orang baik—orang baik akan bersama orang baik. Dan orang baik seperti mu, diciptakan bukan untuk orang seperti ku.

Dari yang mematahkan hati mu, Luna. 

Insiprasi : NetaZaneta (Ig : netaze | FB : NetaZa)


Share:

Minggu, 29 April 2018

Bolehkan kita menyebutkan nama seseorang dalam doa


“Bolehkan aku menyebutkan sebuah nama dalam do’a ku, Tuhan?” Tanya ku dalam ujung do’a ku. “Aku rindu menyebutkan sebuah nama dalam do’a ku seperti saat dulu.” Bisik ku dengan penuh takwa. “Tapi aku takut menyebutkan nama orang yang salah, aku takut mendo’akan nama seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi seseorang dalam hidup ku.” Aku mengenang masa-masa dimana aku menyebutkan nama orang itu dalam do’a ku. “Aku takut akan sia-sia seperti dulu.” Desah ku.

Ya—karena pada akhirnya kami tidak bersama, do’a ku untuk bersamanya tak di ijabah—namun sepertinya memang Tuhan berkehendak lain, dia memang bukan yang terbaik untuk ku, maka dari itu Tuhan tidak mempersatukan kami, dia menggantikannya dengan hal lain, yang belum ku ketahui saat ini. Bukankah Tuhan tidak pernah menolak do’a hamba-hambanya yang meminta padaNya?Ya—Ya, tapi tidak sekarang, dan—aku punya plan yang lebih baik dari itu.

Aku selalu berdoa seperti itu, bertanya apakah boleh aku menyebut sebuah nama dalam do’a ku, aku takut melakukan kesalahan. Sampai pada akhirnya, aku mendengar jawaban Tuhan dari seorang teman baik.

“Boleh kok.” Jawabnya. “Sebut saja.” Ia tersenyum. “Ada orang yang bertanya, kenapa Tuhan tidak mempersatukannya dengan orang yang ia sebut namanya dalam do’a? Sedangkan ia melakukannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.” Aku mengangguk, bagaimanapun aku pernah melakukannya, aku tau posisi itu. “Karena kita terlalu memaksa Tuhan, bersikap seolah dirinya lah yang terbaik untuk kita. Padahal? Menurut Tuhan—dia bukan yang terbaik.” Aku mematung mendengarnya, kata-katanya memukul ku. “Tuhan itu baik sama kita, Sa. Tuhan nggak mau kalau loe jatuh ke orang yang salah jadi Tuhan tidak mempersatukan kalian.”

“Lalu bagaimana do’a yang benar kalau begitu?” Tanya ku dengan frustasi. “Apakah kita tidak boleh menginginkan seseorang? Apakah—.”

“Berikan Tuhan pilihan.” Potongnya. “Bagaimana kalau kata-kata ‘Tuhan, jodohkan aku dengannya’ di ganti dengan ‘Tuhan, jika dia adalah jodoh dan seseorang yang baik untuk ku—dekatkanlah. Namun jika tidak, maka berikan dia yang terbaik dan berikan pula aku yang terbaik, berikanlah aku laki-laki yang akhlak, sifat, sikap baiknya seperti dia—yang rajin beribadah, yang bagus hapalan sholatnya dan menyayangi keluarganya’.” Ucapannya membuat ku terpaku. “Bukan hanya berdo’a saja yang kita dapat, tapi juga bagaimana kita beribadah, berikhtiar, berharap dan iklas dalam satu waktu.”

“Bijak sekali.” Air mata ku menggenang di pelupuk mata.

“Kita bukan Tuhan, Sa.” Dia mengingatkan ku. “Jangan memaksa Tuhan, mintalah yang terbaik dari sisinya. Karena yang terbaik menurut mu belum tentu terbaik darinya.”

***

Inspirasi dari Dian Kurniaawati

Share:

Jumat, 27 April 2018

Pernikahan


Aku masih saja tidak percaya mendengar sahabat baik ku—Adit—akan menikah begitu cepat, mengingat umurnya hanya berbeda setahun dengan ku. Ditambah lagi dia adalah seorang laki-laki, bukankah biasanya laki-laki memilih untuk tidak menikah cepat? Mereka menikah cenderung lebih lama daripada perempua, dengan alasan ingin mengejar karir, membahagiakan keluarganya terlebih dahulu. Tapi kini, dia akan menikah—bahkan jauh lebih cepat daripada aku, sahabat perempuannya. Rasanya tidak percaya, kenapa dia mau menikah secepat ini.

“Kenapa loe menikah?” Pertanyaan bodoh ku lontarkan padanya.

“Pacar gue lebih tua setahun.” Jawabnya.

“Menikah bukan perkara umur, Dit, tapi juga masalah mental dan juga kesiapan kita membina sebuah pernikahan. Nikah nggak sama seperti pacaran, harus punya komitmen yang besar.” Bantah ku.  “Nikah bukan cuma setahun dua tahun aja, ini seumur hidup.” Adit, sahabat laki-laki yang sangat baik dari semasa kuliah sampai sekarang. “Dan ditambah lagi kenapa loe nikah sama dia!” Sesungguhnya aku tidak pernah menyukai pacarnya bahkan hingga saat ini, bukan apa-apa—hanya saja dia berbanding terbalik dengan Adit, aku pikir alangkah lebih baik Adit dapat yang lebih baik.

Adit hanya tertawa. “Kenapa ya? Semua cewek pasti bermasalah dengan pacar sahabat cowoknya.”Aku menggerutu. “Loe nggak suka sama gue kan, Kar?”

“No!” Bantah ku, aku benar-benar menganggapnya sahabat tidak pernah lebih, dia orang pertama yang membuat ku yakin kalau perempuan dan laki-laki bisa bersahabat, sebelumnya? Aku tidak pernah percaya itu.

Tapi Adit tidak pernah sebahagia itu saat menceritakan Tita –pacarnya-, aku tau—tidak baik untuk ku melarangnya bersama Tita. Yang menjalani semua itu adalah Adit dan Tita, sedangkan kami? Hanyalah orang luar yang menilai dari covernya saja. Kita tidak pernah tau bagaimana cinta mereka, bahagianya mereka dan perjuangan mereka.

“Jadi—kenapa loe mau menikah dengannya?” Akhirnya aku luluh. “Kenapa loe akhirnya memutuskan untuk menghabiskan hidup dengannya?”

Adit tidak langsung menjawab seperti biasanya, ia tersenyum dalam. “Karena cinta, mungkin?” Rasanya aku ingin memukul kepalanya. “Karena sudah saatnya.” Sambungnya. “Dan—bukankah pernikahan itu ibadah?” Aku terpana. “Mungkin benar, pernikahan bukan perkara umur tapi juga mental dan kesiapan. Tapi loe lupa satu hal, Kar, pernikahan itu setengah dari iman. Dan dengan Tita, aku ingin menyempurnakan iman ku.”

Damn! Dit, ini kata-kata teromantis yang pernah ku dengar dari mu.

Share:

Minggu, 22 April 2018

Cinta Sendiri


Bahu kita bersinggungan berkali-kali, awalnya memang tidak segaja—kita langsung menjaga jarak begitu bahu kita bersentuhan. Namun lambat laun kita seolah membiarkannya, membiarkan bahu kita bersinggungan, saling menyentuh. Tanpa kamu sadari aku yang berdiri disamping mu, menatap mu berkali-kali, melihat mu ikut bernyanyi mengikuti lagu yang dibawakan di konser yang sedang kita tonton. Aku terpukau—namun tak mau mengakuinya, aku mengagumi mu tapi tak bisa mengatakannya karena bagaimanapun ada tembok yang membatasi kita berdua. Hingga aku memilih untuk melangkah mundur tanpa berani berjalan berdampingan dengan mu dan menggenggam tangan mu.

“Terkadang begitu sukar, untuk dimengerti semua ini. Kita terlambat, meski tlah kau semaikan cinta dibalik senyuman indah, kau jadikan semua nyata seolah kau belahan jiwa.”

Aku menoleh kebelakang, mencari sosok mu yang sejak tadi tidak terlihat. Namun ternyata kini kamu berdiri dibelakang ku, seolah menjaga tempat ku agar tidak direbut dari orang lain. Lambat laun posisi itu berubah, kamu berdiri disamping ku—sambil menikmati lagu-lagu yang dibawakan.

“Meski ku tak mungkin lagi menjadi pasangan ku, tapi ku yakini cinta kau kekasih hati.”

Bolehkan aku jujur? Beberapa kali dengan segaja aku membiarkan bahu kita bersentuhan, memukul-mukul mu manja saat grup Kahitna—saat itu—sedang menggoda para penonton dengan gombalannya. Rasanya menyenangkan bisa bersama mu, aku sampai merasa di tempat itu hanya kamu dan aku yang menonton Kahitna.

Aku membiarkan tangan kiri ku lurus tanpa ku lipat didepan dada ataupun memegang sesuatu, sambil berharap—mungkin saja bukan hanya bahu kita yang bersentuhan, tapi juga tangan  kita. Dan saat itu datang, aku akan menyentuh dan menggenggam tangan mu erat.

“Memalukan bukan?”

Konser itu terasa begitu cepat, kebersamaan kita terasa begitu singkat sampai aku tidak menyadari bisa secepat ini. Saat keluar dari tempat itu, kamu berjalan didepan ku, memunggungi ku hingga hanya punggung mu yang dapat ku lihat.

“Widya.” Seorang gadis menoleh, ia tersenyum lebar begitu melihat mu muncul didepannya. “Acaranya asyik.” Gadis itu salah satu panitia konser itu, bisa terlihat dari kaos yang ia pakai.  “Sayang kita nggak nonton bareng.” Kamu mengulurkan jemari tangan mu, ia pun membalas uluran tangan mu.

Dan aku—kini bukan hanya melihat punggung mu saja, tapi juga melihat tangan kalian berdua berpautan dan saling menggenggam.


Share: