Aku
masih saja tidak percaya mendengar sahabat baik ku—Adit—akan menikah begitu
cepat, mengingat umurnya hanya berbeda setahun dengan ku. Ditambah lagi dia
adalah seorang laki-laki, bukankah biasanya laki-laki memilih untuk tidak
menikah cepat? Mereka menikah cenderung lebih lama daripada perempua, dengan
alasan ingin mengejar karir, membahagiakan keluarganya terlebih dahulu. Tapi
kini, dia akan menikah—bahkan jauh lebih cepat daripada aku, sahabat
perempuannya. Rasanya tidak percaya, kenapa dia mau menikah secepat ini.
“Kenapa
loe menikah?” Pertanyaan bodoh ku lontarkan padanya.
“Pacar
gue lebih tua setahun.” Jawabnya.
“Menikah
bukan perkara umur, Dit, tapi juga masalah mental dan juga kesiapan kita
membina sebuah pernikahan. Nikah nggak sama seperti pacaran, harus punya
komitmen yang besar.” Bantah ku. “Nikah bukan cuma setahun dua tahun aja, ini
seumur hidup.” Adit, sahabat laki-laki yang sangat baik dari semasa kuliah
sampai sekarang. “Dan ditambah lagi kenapa loe nikah sama dia!” Sesungguhnya
aku tidak pernah menyukai pacarnya bahkan hingga saat ini, bukan apa-apa—hanya
saja dia berbanding terbalik dengan Adit, aku pikir alangkah lebih baik Adit
dapat yang lebih baik.
Adit
hanya tertawa. “Kenapa ya? Semua cewek pasti bermasalah dengan pacar sahabat
cowoknya.”Aku menggerutu. “Loe nggak suka sama gue kan, Kar?”
“No!”
Bantah ku, aku benar-benar menganggapnya sahabat tidak pernah lebih, dia orang
pertama yang membuat ku yakin kalau perempuan dan laki-laki bisa bersahabat,
sebelumnya? Aku tidak pernah percaya itu.
Tapi
Adit tidak pernah sebahagia itu saat menceritakan Tita –pacarnya-, aku tau—tidak
baik untuk ku melarangnya bersama Tita. Yang menjalani semua itu adalah Adit
dan Tita, sedangkan kami? Hanyalah orang luar yang menilai dari covernya saja. Kita tidak pernah tau
bagaimana cinta mereka, bahagianya mereka dan perjuangan mereka.
“Jadi—kenapa
loe mau menikah dengannya?” Akhirnya aku luluh. “Kenapa loe akhirnya memutuskan
untuk menghabiskan hidup dengannya?”
Adit
tidak langsung menjawab seperti biasanya, ia tersenyum dalam. “Karena cinta,
mungkin?” Rasanya aku ingin memukul kepalanya. “Karena sudah saatnya.”
Sambungnya. “Dan—bukankah pernikahan itu ibadah?” Aku terpana. “Mungkin benar,
pernikahan bukan perkara umur tapi juga mental dan kesiapan. Tapi loe lupa satu
hal, Kar, pernikahan itu setengah dari iman. Dan dengan Tita, aku ingin
menyempurnakan iman ku.”
Damn! Dit, ini
kata-kata teromantis yang pernah ku dengar dari mu.
0 komentar:
Posting Komentar