Jumat, 27 April 2018

Pernikahan


Aku masih saja tidak percaya mendengar sahabat baik ku—Adit—akan menikah begitu cepat, mengingat umurnya hanya berbeda setahun dengan ku. Ditambah lagi dia adalah seorang laki-laki, bukankah biasanya laki-laki memilih untuk tidak menikah cepat? Mereka menikah cenderung lebih lama daripada perempua, dengan alasan ingin mengejar karir, membahagiakan keluarganya terlebih dahulu. Tapi kini, dia akan menikah—bahkan jauh lebih cepat daripada aku, sahabat perempuannya. Rasanya tidak percaya, kenapa dia mau menikah secepat ini.

“Kenapa loe menikah?” Pertanyaan bodoh ku lontarkan padanya.

“Pacar gue lebih tua setahun.” Jawabnya.

“Menikah bukan perkara umur, Dit, tapi juga masalah mental dan juga kesiapan kita membina sebuah pernikahan. Nikah nggak sama seperti pacaran, harus punya komitmen yang besar.” Bantah ku.  “Nikah bukan cuma setahun dua tahun aja, ini seumur hidup.” Adit, sahabat laki-laki yang sangat baik dari semasa kuliah sampai sekarang. “Dan ditambah lagi kenapa loe nikah sama dia!” Sesungguhnya aku tidak pernah menyukai pacarnya bahkan hingga saat ini, bukan apa-apa—hanya saja dia berbanding terbalik dengan Adit, aku pikir alangkah lebih baik Adit dapat yang lebih baik.

Adit hanya tertawa. “Kenapa ya? Semua cewek pasti bermasalah dengan pacar sahabat cowoknya.”Aku menggerutu. “Loe nggak suka sama gue kan, Kar?”

“No!” Bantah ku, aku benar-benar menganggapnya sahabat tidak pernah lebih, dia orang pertama yang membuat ku yakin kalau perempuan dan laki-laki bisa bersahabat, sebelumnya? Aku tidak pernah percaya itu.

Tapi Adit tidak pernah sebahagia itu saat menceritakan Tita –pacarnya-, aku tau—tidak baik untuk ku melarangnya bersama Tita. Yang menjalani semua itu adalah Adit dan Tita, sedangkan kami? Hanyalah orang luar yang menilai dari covernya saja. Kita tidak pernah tau bagaimana cinta mereka, bahagianya mereka dan perjuangan mereka.

“Jadi—kenapa loe mau menikah dengannya?” Akhirnya aku luluh. “Kenapa loe akhirnya memutuskan untuk menghabiskan hidup dengannya?”

Adit tidak langsung menjawab seperti biasanya, ia tersenyum dalam. “Karena cinta, mungkin?” Rasanya aku ingin memukul kepalanya. “Karena sudah saatnya.” Sambungnya. “Dan—bukankah pernikahan itu ibadah?” Aku terpana. “Mungkin benar, pernikahan bukan perkara umur tapi juga mental dan kesiapan. Tapi loe lupa satu hal, Kar, pernikahan itu setengah dari iman. Dan dengan Tita, aku ingin menyempurnakan iman ku.”

Damn! Dit, ini kata-kata teromantis yang pernah ku dengar dari mu.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar