Minggu, 29 April 2018

Bolehkan kita menyebutkan nama seseorang dalam doa


“Bolehkan aku menyebutkan sebuah nama dalam do’a ku, Tuhan?” Tanya ku dalam ujung do’a ku. “Aku rindu menyebutkan sebuah nama dalam do’a ku seperti saat dulu.” Bisik ku dengan penuh takwa. “Tapi aku takut menyebutkan nama orang yang salah, aku takut mendo’akan nama seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi seseorang dalam hidup ku.” Aku mengenang masa-masa dimana aku menyebutkan nama orang itu dalam do’a ku. “Aku takut akan sia-sia seperti dulu.” Desah ku.

Ya—karena pada akhirnya kami tidak bersama, do’a ku untuk bersamanya tak di ijabah—namun sepertinya memang Tuhan berkehendak lain, dia memang bukan yang terbaik untuk ku, maka dari itu Tuhan tidak mempersatukan kami, dia menggantikannya dengan hal lain, yang belum ku ketahui saat ini. Bukankah Tuhan tidak pernah menolak do’a hamba-hambanya yang meminta padaNya?Ya—Ya, tapi tidak sekarang, dan—aku punya plan yang lebih baik dari itu.

Aku selalu berdoa seperti itu, bertanya apakah boleh aku menyebut sebuah nama dalam do’a ku, aku takut melakukan kesalahan. Sampai pada akhirnya, aku mendengar jawaban Tuhan dari seorang teman baik.

“Boleh kok.” Jawabnya. “Sebut saja.” Ia tersenyum. “Ada orang yang bertanya, kenapa Tuhan tidak mempersatukannya dengan orang yang ia sebut namanya dalam do’a? Sedangkan ia melakukannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.” Aku mengangguk, bagaimanapun aku pernah melakukannya, aku tau posisi itu. “Karena kita terlalu memaksa Tuhan, bersikap seolah dirinya lah yang terbaik untuk kita. Padahal? Menurut Tuhan—dia bukan yang terbaik.” Aku mematung mendengarnya, kata-katanya memukul ku. “Tuhan itu baik sama kita, Sa. Tuhan nggak mau kalau loe jatuh ke orang yang salah jadi Tuhan tidak mempersatukan kalian.”

“Lalu bagaimana do’a yang benar kalau begitu?” Tanya ku dengan frustasi. “Apakah kita tidak boleh menginginkan seseorang? Apakah—.”

“Berikan Tuhan pilihan.” Potongnya. “Bagaimana kalau kata-kata ‘Tuhan, jodohkan aku dengannya’ di ganti dengan ‘Tuhan, jika dia adalah jodoh dan seseorang yang baik untuk ku—dekatkanlah. Namun jika tidak, maka berikan dia yang terbaik dan berikan pula aku yang terbaik, berikanlah aku laki-laki yang akhlak, sifat, sikap baiknya seperti dia—yang rajin beribadah, yang bagus hapalan sholatnya dan menyayangi keluarganya’.” Ucapannya membuat ku terpaku. “Bukan hanya berdo’a saja yang kita dapat, tapi juga bagaimana kita beribadah, berikhtiar, berharap dan iklas dalam satu waktu.”

“Bijak sekali.” Air mata ku menggenang di pelupuk mata.

“Kita bukan Tuhan, Sa.” Dia mengingatkan ku. “Jangan memaksa Tuhan, mintalah yang terbaik dari sisinya. Karena yang terbaik menurut mu belum tentu terbaik darinya.”

***

Inspirasi dari Dian Kurniaawati

Share:

0 komentar:

Posting Komentar