“Bolehkan
aku menyebutkan sebuah nama dalam do’a ku, Tuhan?” Tanya ku dalam ujung do’a
ku. “Aku rindu menyebutkan sebuah nama dalam do’a ku seperti saat dulu.” Bisik
ku dengan penuh takwa. “Tapi aku takut menyebutkan nama orang yang salah, aku
takut mendo’akan nama seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi seseorang
dalam hidup ku.” Aku mengenang masa-masa dimana aku menyebutkan nama orang itu
dalam do’a ku. “Aku takut akan sia-sia seperti dulu.” Desah ku.
Ya—karena
pada akhirnya kami tidak bersama, do’a ku untuk bersamanya tak di ijabah—namun
sepertinya memang Tuhan berkehendak lain, dia memang bukan yang terbaik untuk
ku, maka dari itu Tuhan tidak mempersatukan kami, dia menggantikannya dengan
hal lain, yang belum ku ketahui saat ini. Bukankah
Tuhan tidak pernah menolak do’a hamba-hambanya yang meminta padaNya?Ya—Ya, tapi
tidak sekarang, dan—aku punya plan yang lebih baik dari itu.
Aku
selalu berdoa seperti itu, bertanya apakah boleh aku menyebut sebuah nama dalam
do’a ku, aku takut melakukan kesalahan. Sampai pada akhirnya, aku mendengar
jawaban Tuhan dari seorang teman baik.
“Boleh
kok.” Jawabnya. “Sebut saja.” Ia tersenyum. “Ada orang yang bertanya, kenapa
Tuhan tidak mempersatukannya dengan orang yang ia sebut namanya dalam do’a?
Sedangkan ia melakukannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun.” Aku mengangguk, bagaimanapun aku pernah melakukannya, aku tau
posisi itu. “Karena kita terlalu memaksa Tuhan, bersikap seolah dirinya lah
yang terbaik untuk kita. Padahal? Menurut Tuhan—dia bukan yang terbaik.” Aku
mematung mendengarnya, kata-katanya memukul ku. “Tuhan itu baik sama kita, Sa.
Tuhan nggak mau kalau loe jatuh ke orang yang salah jadi Tuhan tidak
mempersatukan kalian.”
“Lalu
bagaimana do’a yang benar kalau begitu?” Tanya ku dengan frustasi. “Apakah kita
tidak boleh menginginkan seseorang? Apakah—.”
“Berikan
Tuhan pilihan.” Potongnya. “Bagaimana kalau kata-kata ‘Tuhan, jodohkan aku dengannya’ di ganti dengan ‘Tuhan, jika dia adalah jodoh dan seseorang
yang baik untuk ku—dekatkanlah. Namun jika tidak, maka berikan dia yang terbaik
dan berikan pula aku yang terbaik, berikanlah aku laki-laki yang akhlak, sifat,
sikap baiknya seperti dia—yang rajin beribadah, yang bagus hapalan sholatnya
dan menyayangi keluarganya’.” Ucapannya membuat ku terpaku. “Bukan hanya
berdo’a saja yang kita dapat, tapi juga bagaimana kita beribadah, berikhtiar, berharap
dan iklas dalam satu waktu.”
“Bijak
sekali.” Air mata ku menggenang di pelupuk mata.
“Kita
bukan Tuhan, Sa.” Dia mengingatkan ku. “Jangan memaksa Tuhan, mintalah yang
terbaik dari sisinya. Karena yang terbaik menurut mu belum tentu terbaik
darinya.”
***
Inspirasi
dari Dian Kurniaawati
0 komentar:
Posting Komentar