Minggu, 24 November 2019

Si pencemburu yang tidak tau diri


“Aku pencemburu yang tidak tau diri—.” Aku menyebutnya itu sejak dulu sejak pertama kali sadar aku menyukai mu dan menyadari kamu sudah memiliki kekasih. Sebagai yang punya hati pada mu, aku sudah cukup terluka menyukai orang yang telah dimiliki. Apalagi pemilik mu sempat menghantam jantung ku sembari mengatakan kamu adalah miliknya.

Dan begitu senangnya hati ku ketika tau yang memiliki mu telah hilang, kamu tak berpemilik. Aku tau kamu sadar—setelah tau kamu tak berpemilik—aku semakin terang-terangan menyukai mu, diam-diam pun aku mendoakan mu dalam doa ku berharap Tuhan membolak balikan hati mu dan memberikannya pada ku. Walaupun dengan lugas kamu berpernah bilang tidak akan mau bersama dengan ku.

Peduli setan tentang itu—aku tidak perduli, berkali-kali kamu mengatakan ‘tidak mau’, berkali-kali aku bilang pada Tuhan agar makhluk takabur seperti mu dibungkam dengan cara menjadi mau dengan ku, mau menjadi milik ku.

Sampai pada akhirnya, di sore di hari bahagia mu—jadi hari yang kembali menyakitkan untuk ku. Kamu memang tidak bicara seolah ‘tidak mau’ namun sikap mu mengatakan itu, kamu tidak menghargai cara ku memperhatikan mu dengan berdalih kita hanya teman, dan aku tak punya bayangan di mata mu. Dan esoknya tanpa menunggu jeda kamu meruntuhkan langit-langit rongga hati ku. Hancur—berkeping, luluh lantah tak berbekas. Aku berserakan tak beraturan. Aku mencoba berdiri namun roboh. Aku hancur—tak sisa. Kamu kini tak sendiri lagi, kamu dengannya—pemilik baru mu, atau haruskah aku panggil ia—kekasih mu? 

Share:

Kamis, 19 September 2019

Egois, Bodoh, Posesif dan Gila


Si egois ini—begitu tidak senang melihat mu pulang kerumah.

Padahal ia tau alasan mu pulang kerumah untuk bertemu dan menghabiskan waktu dengan orang tua mu. Tapi pasti saja ada waktu mu untuk bertemu dengan gadis itu bukan? Dia—cemburu, takut kamu pergi berdua dengan gadis itu, membunuh waktu bersama dengannya.

Si egois ini—begitu sedih setiap mendengar mu hendak pulang.

Dua hari akan ia lewati tanpa melihat mu, terlebih ia tak punya alasan untuk menanyakan kabar tentang keadaan mu. Ia selalu kebingungan bagaimana membunuh waktu untuk tidak merindu. Dua hari terasa berhari-hari.

Si bodoh ini—meradang setiap melihat mu dengan gadis baru yang kini sedang kamu tunjukan pada dunia.

Sayangnya ia tidak bisa apa-apa, karena dia memang sejak awal bukan siapa-siapa. Dan sejak awal—kamu memang sudah menekankan kalau kamu dan dia hanya sebatas teman. Ya—sebatas teman, tidak mungkin lebih. Menyedihkan.

Si posesif ini—begitu iri setiap melihat mu tersenyum dan bicara ramah dengan yang lain.

Sedangkan sikap mu dengannya berbanding terbalik, padahal ia sangat senang melihat mu tersenyum. Ia bersedia mendengar tanpa bicara untuk mendengar celoteh mu tentang hidup.

Si posesif ini—pencemburu

“Cemburu?” Sergah mu. “Merasa memiliki, kah?” Sialnya kata-kata itu membuatnya tak berkutik, bagaimana tidak—kamu bukan miliknya bukan? Jadi punya hak apa Ia untuk mencemburui gadis lain.

Si Bodoh ini—menyukai mu dalam diam

Walaupun ia merasa kamu tidak begitu bodoh untuk tidak sadar rasanya itu ada. Rasanya pada mu itu nyata. Kamu hanya pura-pura bodoh agar tak melukainya. Bagaimanapun kedepannya tidak akan baik jika tau lalu menolak rasanya bukan?

Si gila ini—lupa

Sebagaimana ia punya hak untuk mencintai mu, kamu pun punya hak untuk tidak membalas rasanya.

Si egois, si bodoh, si posesif dan si gila ini—mencintai mu dalam diam.

Dari pada merusak semuanya. Ia tak tau bagaimana cara untuk mencintai dengan benar, ia tidak tau cara memulai dengan tepat. Yang ia tau hanyalah berdoa pada Tuhan, untuk memalingkan wajah mu kearahnya—walaupun setidaknya saat bicara dengannya.

Aku.







Fiksi yang di fiksi-fiksikan
Love, Sekarsae
Share:

Selasa, 10 September 2019

Kecewa


Aku terpaku, napas ku terhenyak, waktu ku terasa berhenti sesaat. Sekejap langit seolah runtuh menjatuhi tubuh ku, aku jatuh dan tak mampu bangkit. Tiba-tiba rasa kecewa menyusup, lagi-lagi aku merasakan ini untuk kedua kalinya dengan mu.

Pertama dengan gadis itu—dan kali ini dengan gadis lain. Menyesakan, memang.

Aku begitu bahagia ketika hubungan mu berakhir dengan ‘gadis itu’, berharap ada kesempatan untuk memiliki mu walaupun tak pernah ku khayalkan sebelumnya. Namun hari ini aku melihat mu (lagi) dengan gadis lain, gadis baru. Dan—aku terluka tanpa pernah memulai sebelumnya.
Aku pikir kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka, tapi ternyata—semudah itu kamu menyembuhkan luka dan membuka hati secepat kilat seolah tak pernah terluka.

Rasanya sakit—kecewa, terluka.

Haaaah. Tapi bagaimana lagi aku sudah peringatkan dari awal untuk tidak jatuh cinta lebih dulu. Pada akhirnya(?) Yang jatuh cinta lebih dahulu, akan terluka lebih dulu (pula).

Share:

Memeluk mu dalam doa


Jum’at sore, sebelum negara api menyerang.

Aku ingin lebih banyak mendengar mu bicara; apa saja—aku juga ingin mendengarkan apa saja, keluhan mu, cerita mu, sedih mu, bahagia mu bahkan doa-doa yang selama ini kamu panjatkan. Aku akan jadi pendengar yang baik untuk mu.

Aku ingin mengenal mu lebih baik (lagi) dan lebih banyak serta lebih dalam. Ingin tau apa yang kamu suka dan apa yang kamu tidak suka. Aku ingin jadi yang paling tau hingga tak bersikap tak menyenangkan didepan mu.

Aku—ingin jadi orang yang merengkuh mu, memeluk mu, menenangkan mu, menghapus air maya mu, menjadi tempat mu bersandar ketika tengah sedih, gundah dan menangis.

Aku—mungkin tidak pernah akan jadi yang pertama di hidupmu, tapi aku ingin jadi yang terakhir. Yang akan menemani mu sampai salah satu dari kita menutup mata.

Aku tak bisa banyak janji, aku bukan perempuan baik dan tak begitu cantik. Sifat dan sikap ku buruk bahkan kadang menjengkelkan. Tapi aku pastikan, aku akan menghormati mu, mencoba berbahagi cara untuk membuat mu bahagia dengan cara ku.

Dari seorang gadis yang diam-diam mendoakan mu di seperempat malam.


Share:

Selasa, 03 September 2019

Patah hati mu bahagia ku


Aku, tidak pernah sebaik yang kamu pikir.

Dibalik diam dan ketidakpedulian ku, aku berdoa semoga Tuhan memisahkan mu dengannya, meminta Ia menyadarkan mu bahwa ada yang jauh lebih baik dari kekasihmu yang sejak awal tak pernah ku sukai. Kamu pantas dapat yang jauh dan jauh lebih baik darinya.

Do’a itu ku panjatkan berbulan-bulan yang lalu, hingga terlupakan. Mungkin karena aku menyadari, aku tidak diposisi yang baik jika meneruskan rasa yang akan membuat kita saling tak nyaman. Aku membuat kamu berpikir aku menyukai orang lain dan itu bukan kamu.

Dan Tuhan mengabulkannya, ia memisahkan mu dan dirinya entah karena apa. Aku tak tau, kamu bukan orang yang bisa bercerita—apalagi dengan ku. Pengakuan mu tentang perpisahan mu dengannya membuat ku tertawa, aku menertawakan mu ketika mendengarnya, bahkan terbahak. Tapi aku menyadari—betapa jahatnya aku karena bahagia diatas rasa patah hati mu. Hingga aku tak berani bertanya—kenapa? Mengapa? Bukankah dia gadis yang kamu cintai?

Aku menghargai rasa patah hati mu, hingga memilih tidak bertanya. Aku biarkan, toh—walaupun aku bertanya, kamu tidak akan menjawab. Siapa aku—hingga perlu jadi tempat kamu bercerita?

Bagaimanapun jahatnya aku, ada satu do’a yang kupanjatkan untuk mu di sela pinta ku agar Ia memisahkan mu dengan gadis itu. Semoga kamu—diberikan gadis yang jauh lebih baik darinya, gadis yang memang kamu butuhkan—bukan gadis yang kamu inginkan. Berbahagialah walaupun tidak bersama dengannya, kamu hanya kehilangan seseorang yang belum tepat untuk mu.

Dari aku,
Yang tak pernah kamu lihat, bahkan tak pernah kamu tatap.

Share:

Rabu, 29 Mei 2019

Bukan sebuah candaan


Aku mendengar kabar tentang dirimu hari ini, katanya kamu di tolak oleh gadis yang kamu sukai—Dan itu cukup melukai mu, mengingat kamu menyukainya dengan sangat.

Sebenarnya bukan hanya mendengarnya, aku memang menyegajakan diri untuk menemui mu tanpa pesan, setidaknya aku ingin memastikan kamu baik-baik saja setelah adegan penolakan yang menyakitkan. Terlebih yang ku dengar, kamu ditertawakan setelah di tolak—bukan hanya olehnya tapi oleh yang lain juga—teman-teman mu?

Tau apa mereka tentang rasa suka? Apa rasa suka selucu itu hingga patut ditertawakan. AH—mereka berkata karena kamu begitu menggemaskan untuk dikerjai. Bagi ku, rasa suka tidak selucu itu untuk jadi bahan bercandaan, jadi sebuah alasan untuk mereka mentertawakanmu.

Mengatakan perasaan tidak semudah bicara, dibalik kata ‘aku menyukai mu’ ada setitik harapan untuk saling memiliki hingga mengalahkan rasa takut mendengarkan penolakan. Mengatakan perasaan tidak pernah sebercanda itu—hingga dijadikan bahan tertawaan.

Ku doakan kamu segera baik-baik saja, tetap semangat walaupun terluka. Namanya luka—ia akan segera kering seberjalanannya waktu, ia perlahan-lahan akan sembuh. Jadi—sampai saat itu, semoga kamu baik-baik saja.

Dari aku—yang ikut terluka karena kamu terluka, yang juga terluka karena kamu menyukai gadis lain dan itu bukan aku.

—Ide cerita dari seorang teman di kantor, di bumbuin sedikit biar makjleb jadi jangan hardfeeling nggak semua yang ku tulis karena terjadi pada diri ku sendiri—

Share:

Minggu, 07 April 2019

Trauma


Sebenarnya tidaklah mudah, membuka hati untuk seseorang setelah bertahun-tahun hati tertutup karena luka di masa lalu. Ada sedikit ketakutan yang ku panggil ia trauma, takut untuk kembali mengenal, mengagumi, menyukai, menyayangi lalu mencintai. Mungkin ini tidak akan terjadi kalau yang dulu bukan cinta pertama dan juga patah hati yang pertama kali.

Aku takut jatuh cinta lebih dulu, aku takut memulai semuanya dari awal seperti dulu hingga memilih menunggu, seolah waktu tidak akan berhenti pada ku. Aku masih begitu percaya, yang jatuh cinta lebih dulu akan terluka lebih dulu. Bagaimanapun pengorbanan yang aku lakukan, yang jatuh cinta lebih dulu—akan sakit telebih dahulu, entah itu karena cinta bertepuk sebelah tangan atau mungkin penolakan setelah diberikan harapan setinggi langit.

Ada satu hal yang lebih menakutkan dari jatuh cinta lebih dahulu, kamu tau apa—? Ya! Jatuh cinta sendiri, itu adalah kisah paling memilukan ketimbang jatuh cinta lebih dahulu. Dan paling mengenaskan adalah—ketika aku jatuh cinta lebih dulu dan bukan hanya itu—aku pun jatuh cinta sendiri, tidak dengannya, tidak pula dengan mu.

Share: