“Aku
pencemburu yang tidak tau diri—.” Aku menyebutnya itu sejak dulu sejak pertama
kali sadar aku menyukai mu dan menyadari kamu sudah memiliki kekasih. Sebagai
yang punya hati pada mu, aku sudah cukup terluka menyukai orang yang telah
dimiliki. Apalagi pemilik mu sempat menghantam jantung ku sembari mengatakan
kamu adalah miliknya.
Dan
begitu senangnya hati ku ketika tau yang memiliki mu telah hilang, kamu tak
berpemilik. Aku tau kamu sadar—setelah tau kamu tak berpemilik—aku semakin
terang-terangan menyukai mu, diam-diam pun aku mendoakan mu dalam doa ku
berharap Tuhan membolak balikan hati mu dan memberikannya pada ku. Walaupun
dengan lugas kamu berpernah bilang tidak akan mau bersama dengan ku.
Peduli
setan tentang itu—aku tidak perduli, berkali-kali kamu mengatakan ‘tidak mau’,
berkali-kali aku bilang pada Tuhan agar makhluk takabur seperti mu dibungkam
dengan cara menjadi mau dengan ku, mau menjadi milik ku.
Sampai
pada akhirnya, di sore di hari bahagia mu—jadi hari yang kembali menyakitkan
untuk ku. Kamu memang tidak bicara seolah ‘tidak mau’ namun sikap mu mengatakan
itu, kamu tidak menghargai cara ku memperhatikan mu dengan berdalih kita hanya
teman, dan aku tak punya bayangan di mata mu. Dan esoknya tanpa menunggu jeda
kamu meruntuhkan langit-langit rongga hati ku. Hancur—berkeping, luluh lantah
tak berbekas. Aku berserakan tak beraturan. Aku mencoba berdiri namun roboh.
Aku hancur—tak sisa. Kamu kini tak sendiri lagi, kamu dengannya—pemilik baru
mu, atau haruskah aku panggil ia—kekasih mu?
0 komentar:
Posting Komentar