Minggu, 29 Oktober 2023

Yang ditulis bukan yang tertulis.

 

“—hari ini ada yang nikah loh.” Seperti disambar petir di siang bolong, chat whatapp itu mengagetkan ku setengah mati—walaupun aku memang menduga suatu saat mau tidak mau, suka ataupun tidak suka—kalau kita tidak berjodoh, suatu saat aku akan mendengar kabar pernikahan mu. Hanya saja beberapa minggu yang lalu—atau mungkin sebulan terakhir, aku berdoa semoga akulah yang lebih dulu memberi kabar pada mu kalau aku akan menikah lebih dahulu, bukan malah sebaliknya.

Mendengarnya dari seorang teman setelah dua hari yang lalu kita saling mengucap doa baik—lebih tepatnya aku mengucapkan selamat ulang tahun pada mu di penghujung hari ulang tahun mu yang di balas template oleh mu sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi tidak ada terucap sedikitpun kabar akan pernikahan mu—setidaknya bukankah lebih baik ketika aku mendengarnya langsung dari mu?

Bingung—resah gelisah, bercampur jadi satu, takut dan—hancur. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak baik-baik saja mendengar kabar pernikahan mu—cinta pertama ku, kekasih pertama ku—orang yang pertama kali mengenalkan ‘cinta lawan jenis’ yang sesungguhnya.

Aku berjalan menuju ke kamar ibu, beliau sedang main handphone. “Ibu—.” Isakan ku pecah tanpa bisa ku tahan, aku yang paling anti bicara tentang mu pada orang tua ku—akhirnya luluh lantah di pelukan ibu. “Dia menikah—.” Tangis ku keras, aku yang selalu mencoba tegar karena anak pertama—panutan untuk adik ku, penopang keluarga—yang harusnya kuat luluh lantah, hancur berserakan. “Kalau bukan dia lalu siapa?” Teriak ku di pelukan ibu yang mencoba menenangkan ku. “Lalu siapa?” Beliau bingung namun mencoba terus menenangkan ku, memberikan ku waktu untuk menyelesaikan tangisan ku. “Bagaimana dengan ku, bu?” Ibu menepuk-nepuk punggung ku, mengusapnya, memberikan kata-kata penenang yang semuanya mental dengan ku. “Bagaimana dengan ku, bu—.”

Teringat doa ku diawal tahun di tanah suci ketika umroh, aku menulis nama ku dan nama mu di Ka’bah, menuliskan nama mu di batu yang ada di Jabal Rahmah—tempat bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa—aku berdoa semoga jika kita berjodoh, Allah mudahkan kita bersama walaupun sejauh apapun kita berada—Jawa dan Kalimantan—, namun jika kita tidak berjodoh berikan aku alasan untuk tidak terus menunggu, agar perasaan ku selesai tanpa perlu di teruskan. Aku lelah—aku ingin berlapang dada, aku tidak ingin kamu menghalangi pertemuan ku dengan jodoh ku yang sebenarnya.

Dan—hari itu, Tuhan mengijabahi do’a ku tentang mu. Allah berikan alasan yang memang menyakitkan tapi Ia paling tau yang terbaik bukan? “Semua sudah selesai—Aku berikan jawaban atas doa mu, jangan menunggu lagi.”

Ternyata yang ditulis, bukan berarti yang tertulis—di lauful mahfuz.

Share:

Rabu, 07 Juni 2023

Undangan dan kata Maaf

 

Baru kali ini aku temukan undangan pernikahan yang di sertai kata maaf di belakangnya. Seolah-olah ia—sang pengirim undangan—merasa bersalah karena telah menikah dengan gadis lain dan gadis itu bukan aku—si penerima undangan—, seolah-olah ia meminta maaf karena tidak bisa bersama ku setelah sebelumnya—menjanjikan pernikahan yang indah di akhir cerita kami.

Ku lihat foto praweddingnya, ada satu foto menggelitik ku—foto saat ia menatap sang calon pengantin perempuan dengan tatapan penuh cinta. Aku bertanya-tanya apa yang dimiliki gadis itu hingga ia memilih menikahinya? Bukankah aku lebih cantik—menurut ku aku jauh lebih baik, bahkan menurut teman-teman kami—selain gelar dokter milik gadis itu tentunya, aku tak kalah. Tapi gadis itu pasti punya sesuatu yang membuat ia memilihnya—sesuatu yang tidak ku miliki seperti memotong jarak dan waktu supaya lebih dekat. Jujur aku iri—terlebih tatapannya saat menatap calon istrinya, seolah penuh cinta—dan apakah kamu pernah menatap ku dengan penuh cinta juga?

Share:

Sabtu, 29 Oktober 2022

Bertemu kembali

 

Menginjakan kaki di Jakarta tidak pernah seperti ini rasanya—setelah sekian lama tentunya. Ada kerinduan menggebu-gebu di balik keberadaan ku disini—kalau dulu aku akan mengatakan ‘kini kita berada di langit yang sama—dikota yang sama’, tapi kini aku enggan mengatakannya walaupun tau kita kini berada di kota yang sama—dan masih saja di bawah langit yang sama. Tak bohong aku ingin berjumpa walaupun sekali, entah segaja-menyengaja—menatap mu setelah beberapa tahun tak berjumpa.

“Sekar?” Sapaan itu mengagetkan ku, menghentikan langkah ku dan roda koper yang ku tarik. “Sekar Sae?” Tanyanya penuh keraguan, menatap-dan menebak-nebak wajah siapa yang ada di balik masker yang tengah ku gunakan. “Hai.” Senyum sumringah yang lama tak ku lihat kini ada didepan ku, menatap ku seolah menemukan sesuatu yang sudah lama ingin di temukan. “Apa kabar?”

Semesta mendukung—baru saja ku dawamkan ingin ku bertemu dengan mu, dan begitulah kiranya pertemuan kita setelah sekian lama.

“Sedang apa di Jakarta?” Tanya mu sembari celingukan mencari orang di sekitar ku, memastikan dengan siapa aku datang.  “Kok bisa kebetulan ketemu ya?” Kamu terkekeh, aku masih tak berhenti menatap.

“Jodoh mungkin.” Jawab ku sembarangan, lalu disusul dengan tawa kecil.

Kamu salah tingkah dengan jawaban ku. “Mau kemana habis ini?” Tanya mu mengalihkan rasa gugup. “Mau makan siang bersama?”

 

Share:

Kamis, 29 September 2022

Mengijabahi do'a

 

“Kita pasti akan bertemu lagi—.” Ucapan ku itu membahana, menatap foto mu dengan nanar air mata. “Dan ketika kita bertemu lagi—kamu akan menyesal tidak bersama ku—mencampakan ku.” Sumpah serapah ku ucapkan tanpa perduli, lupa doa-doa ku dulu yang meminta kamu bahagia bersama dengan ku. “Kamu akan menyesal—kamu akan…” Tangis ku pecah, tanpa mampu melanjutkan kata-kata, aku berharap Malaikat lewat lalu memberitahu Tuhan agar mengijabahi do’a—sumpah serapah ku.

***

Waktu berlalu—dan benar saja ku temu kan kamu berdiri didepan ku, menatap ku—menerka-nerka benarkan yang ada dihadapan mu adalah aku, ragu-ragu untuk menyapa. Sampai pada akhirnya aku membalas tatapan keraguan mu, hingga kamu tersenyum lebar menyapa ku terlebih dahulu.

“Sekar, kan?” Kamu menghampiri ku, seolah lupa apa yang kamu lakukan di tahun-tahun lalu. “Apa kabar?” Aku menyeringai, tersenyum penuh kemenangan—Tuhan mengijabahi do’a ku.

“Kami akan bertemu lagi—dan di saat itu terjadi, kamu yang akan lebih dahulu datang.”

“Maaf kamu siapa—.” Ucap ku sambil tertawa. “Tidak pernah lebih baik dari hari ini.”

***

Semoga Tuhan mengijabahi—

Sekarsae

Share:

Rabu, 22 Juni 2022

Ra, aku pamit ya?

 Ra, aku lelah menunggumu. Bolehkah aku berhenti?

Tapi sebelum aku benar-benar berhenti—bisakah kamu menahan ku seperti dulu kamu menahan ku untuk pindah kampus? Kamu bahkan sampai bilang—kalau aku pergi kamu akan merasa kehilangan, kalau aku pergi—kamu pasti sedih.

Masih ingat dingatan kata-kata mu saat itu, yang menghentikan langkah ku. “—kalau kamu pergi, pasti ada rasalah.” Hanya dengan kata-kata itu, aku berhenti bermimpi. Ah, ku ralat. Karena kamu—aku berhenti bermimpi, karena kamu lah mimpi-mimpi ku.

Tapi sayangnya, kamu—mimpi yang belum atau tidak jadi kenyataan. Aku pun tak tau.

Ra, aku lelah menunggu. Aku berhenti ya? Aku ingin menikah, menghabiskan waktu dengan seseorang yang aku cintai dan mencintai ku. Aku pergi ya—sampai ketemu lagi. Disaat nanti kita bertemu, berjanjilah kamu akan menyesal karena tidak bersama ku. Berjanjilah untuk itu. Berjanjilah, aku akan menunggu penyesalan mu.

Share:

Minggu, 05 Desember 2021

Followers

Sudah sekian lama kita tak bersua, bahkan nomer telpon mu pun aku tak punya. Kita hanya saling meninggalkan jejak di instagram—saling memfollow namun tak pernah saling menyapa. Saling melihat namun tidak pernah saling meninggalkan komentar, seolah stalker yang sekedar ingin tau.

Walaupun ku selalu benci dan berkata—untuk apa saling follow kalau tidak pernah saling menyapa, tapi nyatanya kehadiran mu di salah satu dari banyak orang membuat ku bahagia. Tak bohong ada rasa bahagia saat ada nama mu berteger dibagian teratas melihat instagram stories yang ku bagikan—dan kesal ketika tak ada nama mu dibarisan itu.

Dan tak bohong pula—kalau aku ingin terlihat bahagia walaupun sekedar di media sosial, agar kamu tau—aku baik-baik saja, aku sudah baik-baik saja tanpa mu. Walaupun aku doakan kamu bahagia di ujung perpisahan kita—aku tak benar-benar rela kamu bahagia, jangan bahagia, jangan pernah bahagia jika bukan dengan ku.

Share:

Minggu, 24 November 2019

Si pencemburu yang tidak tau diri


“Aku pencemburu yang tidak tau diri—.” Aku menyebutnya itu sejak dulu sejak pertama kali sadar aku menyukai mu dan menyadari kamu sudah memiliki kekasih. Sebagai yang punya hati pada mu, aku sudah cukup terluka menyukai orang yang telah dimiliki. Apalagi pemilik mu sempat menghantam jantung ku sembari mengatakan kamu adalah miliknya.

Dan begitu senangnya hati ku ketika tau yang memiliki mu telah hilang, kamu tak berpemilik. Aku tau kamu sadar—setelah tau kamu tak berpemilik—aku semakin terang-terangan menyukai mu, diam-diam pun aku mendoakan mu dalam doa ku berharap Tuhan membolak balikan hati mu dan memberikannya pada ku. Walaupun dengan lugas kamu berpernah bilang tidak akan mau bersama dengan ku.

Peduli setan tentang itu—aku tidak perduli, berkali-kali kamu mengatakan ‘tidak mau’, berkali-kali aku bilang pada Tuhan agar makhluk takabur seperti mu dibungkam dengan cara menjadi mau dengan ku, mau menjadi milik ku.

Sampai pada akhirnya, di sore di hari bahagia mu—jadi hari yang kembali menyakitkan untuk ku. Kamu memang tidak bicara seolah ‘tidak mau’ namun sikap mu mengatakan itu, kamu tidak menghargai cara ku memperhatikan mu dengan berdalih kita hanya teman, dan aku tak punya bayangan di mata mu. Dan esoknya tanpa menunggu jeda kamu meruntuhkan langit-langit rongga hati ku. Hancur—berkeping, luluh lantah tak berbekas. Aku berserakan tak beraturan. Aku mencoba berdiri namun roboh. Aku hancur—tak sisa. Kamu kini tak sendiri lagi, kamu dengannya—pemilik baru mu, atau haruskah aku panggil ia—kekasih mu? 

Share: