“—hari ini ada yang
nikah loh.” Seperti disambar petir di siang bolong, chat whatapp itu mengagetkan
ku setengah mati—walaupun aku memang menduga suatu saat mau tidak mau, suka ataupun
tidak suka—kalau kita tidak berjodoh, suatu saat aku akan mendengar kabar pernikahan
mu. Hanya saja beberapa minggu yang lalu—atau mungkin sebulan terakhir, aku
berdoa semoga akulah yang lebih dulu memberi kabar pada mu kalau aku akan
menikah lebih dahulu, bukan malah sebaliknya.
Mendengarnya dari
seorang teman setelah dua hari yang lalu kita saling mengucap doa baik—lebih
tepatnya aku mengucapkan selamat ulang tahun pada mu di penghujung hari ulang
tahun mu yang di balas template oleh mu sama seperti tahun-tahun
sebelumnya. Tapi tidak ada terucap sedikitpun kabar akan pernikahan mu—setidaknya
bukankah lebih baik ketika aku mendengarnya langsung dari mu?
Bingung—resah gelisah,
bercampur jadi satu, takut dan—hancur. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak
baik-baik saja mendengar kabar pernikahan mu—cinta pertama ku, kekasih pertama
ku—orang yang pertama kali mengenalkan ‘cinta lawan jenis’ yang sesungguhnya.
Aku berjalan menuju ke
kamar ibu, beliau sedang main handphone. “Ibu—.” Isakan ku pecah tanpa bisa ku tahan,
aku yang paling anti bicara tentang mu pada orang tua ku—akhirnya luluh lantah
di pelukan ibu. “Dia menikah—.” Tangis ku keras, aku yang selalu mencoba tegar
karena anak pertama—panutan untuk adik ku, penopang keluarga—yang harusnya kuat
luluh lantah, hancur berserakan. “Kalau bukan dia lalu siapa?” Teriak ku di
pelukan ibu yang mencoba menenangkan ku. “Lalu siapa?” Beliau bingung namun
mencoba terus menenangkan ku, memberikan ku waktu untuk menyelesaikan tangisan
ku. “Bagaimana dengan ku, bu?” Ibu menepuk-nepuk punggung ku, mengusapnya,
memberikan kata-kata penenang yang semuanya mental dengan ku. “Bagaimana dengan
ku, bu—.”
Teringat doa ku diawal
tahun di tanah suci ketika umroh, aku menulis nama ku dan nama mu di Ka’bah,
menuliskan nama mu di batu yang ada di Jabal Rahmah—tempat bertemunya Nabi Adam
dan Siti Hawa—aku berdoa semoga jika kita berjodoh, Allah mudahkan kita bersama
walaupun sejauh apapun kita berada—Jawa dan Kalimantan—, namun jika kita tidak
berjodoh berikan aku alasan untuk tidak terus menunggu, agar perasaan ku
selesai tanpa perlu di teruskan. Aku lelah—aku ingin berlapang dada, aku tidak
ingin kamu menghalangi pertemuan ku dengan jodoh ku yang sebenarnya.
Dan—hari itu, Tuhan mengijabahi
do’a ku tentang mu. Allah berikan alasan yang memang menyakitkan tapi Ia paling
tau yang terbaik bukan? “Semua sudah selesai—Aku berikan jawaban atas doa mu,
jangan menunggu lagi.”
Ternyata yang ditulis,
bukan berarti yang tertulis—di lauful mahfuz.