Sabtu, 29 Oktober 2022

Bertemu kembali

 

Menginjakan kaki di Jakarta tidak pernah seperti ini rasanya—setelah sekian lama tentunya. Ada kerinduan menggebu-gebu di balik keberadaan ku disini—kalau dulu aku akan mengatakan ‘kini kita berada di langit yang sama—dikota yang sama’, tapi kini aku enggan mengatakannya walaupun tau kita kini berada di kota yang sama—dan masih saja di bawah langit yang sama. Tak bohong aku ingin berjumpa walaupun sekali, entah segaja-menyengaja—menatap mu setelah beberapa tahun tak berjumpa.

“Sekar?” Sapaan itu mengagetkan ku, menghentikan langkah ku dan roda koper yang ku tarik. “Sekar Sae?” Tanyanya penuh keraguan, menatap-dan menebak-nebak wajah siapa yang ada di balik masker yang tengah ku gunakan. “Hai.” Senyum sumringah yang lama tak ku lihat kini ada didepan ku, menatap ku seolah menemukan sesuatu yang sudah lama ingin di temukan. “Apa kabar?”

Semesta mendukung—baru saja ku dawamkan ingin ku bertemu dengan mu, dan begitulah kiranya pertemuan kita setelah sekian lama.

“Sedang apa di Jakarta?” Tanya mu sembari celingukan mencari orang di sekitar ku, memastikan dengan siapa aku datang.  “Kok bisa kebetulan ketemu ya?” Kamu terkekeh, aku masih tak berhenti menatap.

“Jodoh mungkin.” Jawab ku sembarangan, lalu disusul dengan tawa kecil.

Kamu salah tingkah dengan jawaban ku. “Mau kemana habis ini?” Tanya mu mengalihkan rasa gugup. “Mau makan siang bersama?”

 

Share:

Kamis, 29 September 2022

Mengijabahi do'a

 

“Kita pasti akan bertemu lagi—.” Ucapan ku itu membahana, menatap foto mu dengan nanar air mata. “Dan ketika kita bertemu lagi—kamu akan menyesal tidak bersama ku—mencampakan ku.” Sumpah serapah ku ucapkan tanpa perduli, lupa doa-doa ku dulu yang meminta kamu bahagia bersama dengan ku. “Kamu akan menyesal—kamu akan…” Tangis ku pecah, tanpa mampu melanjutkan kata-kata, aku berharap Malaikat lewat lalu memberitahu Tuhan agar mengijabahi do’a—sumpah serapah ku.

***

Waktu berlalu—dan benar saja ku temu kan kamu berdiri didepan ku, menatap ku—menerka-nerka benarkan yang ada dihadapan mu adalah aku, ragu-ragu untuk menyapa. Sampai pada akhirnya aku membalas tatapan keraguan mu, hingga kamu tersenyum lebar menyapa ku terlebih dahulu.

“Sekar, kan?” Kamu menghampiri ku, seolah lupa apa yang kamu lakukan di tahun-tahun lalu. “Apa kabar?” Aku menyeringai, tersenyum penuh kemenangan—Tuhan mengijabahi do’a ku.

“Kami akan bertemu lagi—dan di saat itu terjadi, kamu yang akan lebih dahulu datang.”

“Maaf kamu siapa—.” Ucap ku sambil tertawa. “Tidak pernah lebih baik dari hari ini.”

***

Semoga Tuhan mengijabahi—

Sekarsae

Share:

Rabu, 22 Juni 2022

Ra, aku pamit ya?

 Ra, aku lelah menunggumu. Bolehkah aku berhenti?

Tapi sebelum aku benar-benar berhenti—bisakah kamu menahan ku seperti dulu kamu menahan ku untuk pindah kampus? Kamu bahkan sampai bilang—kalau aku pergi kamu akan merasa kehilangan, kalau aku pergi—kamu pasti sedih.

Masih ingat dingatan kata-kata mu saat itu, yang menghentikan langkah ku. “—kalau kamu pergi, pasti ada rasalah.” Hanya dengan kata-kata itu, aku berhenti bermimpi. Ah, ku ralat. Karena kamu—aku berhenti bermimpi, karena kamu lah mimpi-mimpi ku.

Tapi sayangnya, kamu—mimpi yang belum atau tidak jadi kenyataan. Aku pun tak tau.

Ra, aku lelah menunggu. Aku berhenti ya? Aku ingin menikah, menghabiskan waktu dengan seseorang yang aku cintai dan mencintai ku. Aku pergi ya—sampai ketemu lagi. Disaat nanti kita bertemu, berjanjilah kamu akan menyesal karena tidak bersama ku. Berjanjilah untuk itu. Berjanjilah, aku akan menunggu penyesalan mu.

Share: